PPP Dilema Kesatuan & Konflik Internal
Jakarta, 28 September 2025 — Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kini menghadapi momen krusial yang mencerminkan dilema nyata antara kesatuan internal dan konflik yang terus mengemuka. Fenomena ini, yang dapat disebut […]

Jakarta, 28 September 2025 — Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kini menghadapi momen krusial yang mencerminkan dilema nyata antara kesatuan internal dan konflik yang terus mengemuka. Fenomena ini, yang dapat disebut PPP Dilema Kesatuan & Konflik Internal, menunjukkan kompleksitas dinamika politik di tubuh partai, di mana upaya menjaga solidaritas seringkali bersinggungan dengan kepentingan individu dan kelompok. Perkembangan ini tidak hanya memengaruhi arah kepemimpinan partai, tetapi juga memiliki implikasi lebih luas terhadap strategi politik PPP menjelang Pemilu 2029.
PPP Dilema Kesatuan & Konflik Internal
Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berlangsung pada 27–28 September 2025 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, menimbulkan dinamika politik yang memunculkan dilema besar bagi partai berlambang Ka’bah tersebut. Dilema itu muncul antara upaya menjaga kesatuan internal dan menghadapi konflik yang mengancam konsolidasi partai menjelang Pemilu 2029.
Dualisme Kepemimpinan: Mardiono vs. Agus Suparmanto
Muktamar X PPP berakhir dengan dua klaim kepemimpinan yang saling bertentangan. Muhammad Mardiono, Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Umum PPP, terpilih kembali secara aklamasi dengan dukungan mayoritas peserta muktamar. Kemenangan Mardiono diumumkan oleh pimpinan sidang paripurna dan disahkan melalui musyawarah mufakat.
Namun, kubu yang mengusung Agus Suparmanto juga mengklaim kemenangan. Mereka menyebut Agus Suparmanto sebagai Ketua Umum terpilih berdasarkan forum muktamar yang sah menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Perselisihan ini menunjukkan adanya ketegangan yang belum terselesaikan di internal partai.
Ketua Bidang Hukum DPP PPP, Andi Surya Wijaya, menegaskan bahwa klaim aklamasi Agus Suparmanto tidak sah secara hukum. “Mekanisme yang digelar pihak Agus tidak sesuai dengan aturan organisasi yang berlaku. Oleh karena itu, klaim tersebut tidak dapat diterima,” ujarnya. Pernyataan ini menegaskan bahwa masalah internal PPP bukan sekadar perdebatan politik biasa, tetapi juga terkait legalitas prosedur organisasi.
Kericuhan dan Dampak terhadap Partai
Selain ketegangan politik, Muktamar X PPP juga diwarnai kericuhan fisik antar kader. Beberapa orang dilaporkan mengalami luka-luka ringan akibat bentrokan. Muhammad Mardiono mengungkapkan bahwa kericuhan tersebut dipicu oleh pihak-pihak yang ingin memaksakan kehendak secara ilegal. “Tindakan seperti ini mencederai proses demokrasi dalam partai dan tidak boleh dibiarkan terjadi lagi,” kata Mardiono.
Kericuhan ini menjadi sorotan media dan pengamat politik karena menimbulkan pertanyaan mengenai kedewasaan politik internal PPP. Selain itu, konflik internal semacam ini berpotensi merusak citra partai di mata publik, terutama menjelang Pemilu 2029, ketika elektabilitas dan kepercayaan masyarakat menjadi kunci bagi setiap partai politik.
Latar Belakang Konflik
Persoalan dualisme kepemimpinan PPP bukan hal baru. Sejak 2022, saat Mardiono menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Umum, telah muncul berbagai ketegangan internal terkait siapa yang berhak memimpin partai secara definitif. Munculnya beberapa calon ketua umum dalam Muktamar X mencerminkan adanya kelompok dan kepentingan berbeda di dalam tubuh partai.
Kubu Mardiono menekankan pentingnya kesatuan partai untuk menghadapi Pemilu 2029, sementara kubu Agus Suparmanto menilai partai perlu melakukan pembaruan kepemimpinan agar lebih adaptif menghadapi tantangan politik modern. Perbedaan pandangan ini memunculkan konflik prosedural yang kini menjadi sorotan publik.
Pandangan Pengamat Politik
Direktur Eksekutif Ethical Politics, Hasyibulloh Mulyawan, menilai bahwa meskipun terjadi dinamika internal, Muktamar X PPP dapat menjadi momentum bagi partai untuk melakukan transformasi. “Dinamika ini wajar dalam partai politik. Yang penting adalah bagaimana PPP memanfaatkan momen ini untuk memperkuat konsolidasi internal, sehingga dapat tampil solid menghadapi Pemilu 2029,” katanya.
Pengamat politik lain, Nina Arifin, menambahkan bahwa konflik internal berpotensi memengaruhi elektabilitas partai di tingkat nasional. “Jika dualisme kepemimpinan tidak segera diselesaikan secara damai, publik dapat menilai partai kurang stabil, dan hal ini bisa berimplikasi pada perolehan suara di Pemilu mendatang,” jelasnya.
Kesimpulan: Antara Kesatuan dan Konflik
Saat ini, PPP berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, partai harus menjaga kesatuan internal untuk menghadapi tantangan politik ke depan. Di sisi lain, konflik internal yang terjadi dapat menghambat konsolidasi dan memengaruhi elektabilitas. Bagaimana PPP menyikapi dualisme kepemimpinan dan menyelesaikan konflik internal akan menentukan arah dan masa depan partai dalam kancah politik Indonesia.
Dalam konteks ini, Muktamar X PPP menjadi cermin tantangan bagi partai tradisional dalam menjaga stabilitas internal sekaligus merespons tuntutan politik modern. Hasil muktamar dan dinamika internal PPP akan menjadi bahan evaluasi penting bagi seluruh kader, pengamat, dan masyarakat luas yang mengamati perkembangan politik nasional.